Ngapain Malu Bang, yang Penting Bisa Sekolah
Jumat, 23 Juli 2010
Sembari membawa sapu tak bergagang dan penyemprot berisi solar, sejumlah bocah laki-laki berlari mengejar angkot yang masuk ke Terminal Amplas. Mereka berlomba sambil mengacungkan jari. Keselamatan pun terkadang diabaikan.
Saban sore, pemandangan itu bisa ditemui di persimpangan Jl SM Raja menuju Terminal Amplas dan di pintu masuk terminal. Sepintas, penampilan mereka ibarat anak jalanan. Ya, pakaian gadel dan tampak belum mandi. Ditambah aksesoris yang mereka bawa, lengkaplah kesan tak bersahabat melekat pada mereka.
Tapi tunggu dulu. Penampilan tak selamanya menggambarkan ada yang terlihat. Di balik ‘seragam kumuh’ bocah dan remaja berusia belasan tahun itu, ada tujuan yang sangat mulia. Komunitas ini adalah kumpulan penyapu dan pembersih lantai angkot.
Salah satunya adalah Joel. Bocah yang masih duduk di kelas IV SD ini, tiap sore ‘bergumul’ dengan debu demi lembaran rupiah. Tak jarang, derasnya hujan pun terpaksa diabaikan demi ‘pekerjaan’ yang belum layak mereka lakukan bagi bocah seusianya. Seharusnya, pada usianya itu, warga Jl Turi Gang Damai, Medan Amplas tersebut, lebih banyak waktunya bermain atau belajar.
Namun itu tak pernah jadi tujuan utamanya. Baginya, sekolah dan membantu ibu jadi prioritasnya saat ini. Untuk itu, dia rela menjadi penyapu angkot meski hasilnya tak sebanding. Ya, dia dan teman-temannya harus berlomba mengejar angkot yang mau lantainya disapu.
Begitu melihat angkot datang, dari jarak 10 meter, dia sudah mengacungkan tangan. Isyarat bagi supir untuk mau mengangkutnya di jalan dan membersihkan angkot itu begitu ngetem di terminal.
Saat isyaratnya disambut supir, dia harus segera berlari mengejar angkot yang juga terus berjalan itu. Begitu dekat, Joel pun harus melompat saat angkot masih jalan. Sungguh pekerjaan yang beresiko besar. Hasilnya? Sangat minim. Joel hanya diberi upah sebesar Rp1.000 untuk usahanya.
Dengan kata lain, untuk mendapatkan Rp10 ribu, Joel harus 10 kali lompat ke angkot. Dan 10 kali pula dia harus mempertaruhkan keselamatannya. Sungguh tragis. Tapi Joel tetap menjalani dengan ikhlas. Semuanya itu dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya.
Sejak ditinggal mati ayahnya beberapa tahun lalu, hanya ibunya yang jadi tulang punggung keluarga. Sayangnya, upah ibunya dari bertani tak cukup buat biaya sehari-hari. Belum lagi biaya sekolah anak kedua dari 4 bersaudara ini. Joel bahkan nyaris putus sekolah. Tapi dia tak rela.
Untuk melanjutkan sekolahnya dan membantu ibunya, Joel memutuskan terjun ke dunianya sekarang dan sudah berjalan hampir setahun. Soal malu sudah dikesampingkannya. “Ngapain malu bang. Penting aku bisa dapat uang untuk sekolah. Kalau berharap dari mamak, mana bisa aku sekolah. Yang penting uangnya halal,” ucapnya, sesekali mengacungkan tangan pada angkot yang masuk terminal.
“Uang yang didapat dari sapu angkot, aku kasih sama mamak untuk disimpan,” sambungnya. Soal sekolah, itu tak pernah dilupakannya. Tapi, begitu pulang sekolah, dia juga tak lupa ke terminal Amplas.
“Aku mulai kerja mulai siang sampai malam. Begitu selesai, aku pulang ke rumah. Aku nggak ingin mamak menjadi was-was lantaran nggak pulang,” sebutnya. Begitu ditanya, apakah terkadang uang yang diraihnya diminta preman atau tidak, Joel menyebutkan, tidak ada. “Uang ku nggak pernah diminta preman bang. Uang yang kudapat, kalau haus aku beli minuman serta cemilan,” ucapnya.
Hal senada juga dilontarkan Frans (12) Jalan Panglima Denai. Bocah berkulit hitam juga bilang, meski mereka berpanas-panasan mencari uang tak lupa kembali ke rumah. “Dapat nggak dapat uang, aku tetap balik ke rumah bang. Aku takut dimarahi,” ucapnya singkat. Ehm..sungguh bocah-bocah yang keras ditempa keadaan. Tapi, keluguan juga masih tersirat dari kelakuan mereka yang saling kejar dan berlari saat bermain bersama. Tetap semangat ya Joel. (ali)
Sembari membawa sapu tak bergagang dan penyemprot berisi solar, sejumlah bocah laki-laki berlari mengejar angkot yang masuk ke Terminal Amplas. Mereka berlomba sambil mengacungkan jari. Keselamatan pun terkadang diabaikan.
Saban sore, pemandangan itu bisa ditemui di persimpangan Jl SM Raja menuju Terminal Amplas dan di pintu masuk terminal. Sepintas, penampilan mereka ibarat anak jalanan. Ya, pakaian gadel dan tampak belum mandi. Ditambah aksesoris yang mereka bawa, lengkaplah kesan tak bersahabat melekat pada mereka.
Tapi tunggu dulu. Penampilan tak selamanya menggambarkan ada yang terlihat. Di balik ‘seragam kumuh’ bocah dan remaja berusia belasan tahun itu, ada tujuan yang sangat mulia. Komunitas ini adalah kumpulan penyapu dan pembersih lantai angkot.
Salah satunya adalah Joel. Bocah yang masih duduk di kelas IV SD ini, tiap sore ‘bergumul’ dengan debu demi lembaran rupiah. Tak jarang, derasnya hujan pun terpaksa diabaikan demi ‘pekerjaan’ yang belum layak mereka lakukan bagi bocah seusianya. Seharusnya, pada usianya itu, warga Jl Turi Gang Damai, Medan Amplas tersebut, lebih banyak waktunya bermain atau belajar.
Namun itu tak pernah jadi tujuan utamanya. Baginya, sekolah dan membantu ibu jadi prioritasnya saat ini. Untuk itu, dia rela menjadi penyapu angkot meski hasilnya tak sebanding. Ya, dia dan teman-temannya harus berlomba mengejar angkot yang mau lantainya disapu.
Begitu melihat angkot datang, dari jarak 10 meter, dia sudah mengacungkan tangan. Isyarat bagi supir untuk mau mengangkutnya di jalan dan membersihkan angkot itu begitu ngetem di terminal.
Saat isyaratnya disambut supir, dia harus segera berlari mengejar angkot yang juga terus berjalan itu. Begitu dekat, Joel pun harus melompat saat angkot masih jalan. Sungguh pekerjaan yang beresiko besar. Hasilnya? Sangat minim. Joel hanya diberi upah sebesar Rp1.000 untuk usahanya.
Dengan kata lain, untuk mendapatkan Rp10 ribu, Joel harus 10 kali lompat ke angkot. Dan 10 kali pula dia harus mempertaruhkan keselamatannya. Sungguh tragis. Tapi Joel tetap menjalani dengan ikhlas. Semuanya itu dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya.
Sejak ditinggal mati ayahnya beberapa tahun lalu, hanya ibunya yang jadi tulang punggung keluarga. Sayangnya, upah ibunya dari bertani tak cukup buat biaya sehari-hari. Belum lagi biaya sekolah anak kedua dari 4 bersaudara ini. Joel bahkan nyaris putus sekolah. Tapi dia tak rela.
Untuk melanjutkan sekolahnya dan membantu ibunya, Joel memutuskan terjun ke dunianya sekarang dan sudah berjalan hampir setahun. Soal malu sudah dikesampingkannya. “Ngapain malu bang. Penting aku bisa dapat uang untuk sekolah. Kalau berharap dari mamak, mana bisa aku sekolah. Yang penting uangnya halal,” ucapnya, sesekali mengacungkan tangan pada angkot yang masuk terminal.
“Uang yang didapat dari sapu angkot, aku kasih sama mamak untuk disimpan,” sambungnya. Soal sekolah, itu tak pernah dilupakannya. Tapi, begitu pulang sekolah, dia juga tak lupa ke terminal Amplas.
“Aku mulai kerja mulai siang sampai malam. Begitu selesai, aku pulang ke rumah. Aku nggak ingin mamak menjadi was-was lantaran nggak pulang,” sebutnya. Begitu ditanya, apakah terkadang uang yang diraihnya diminta preman atau tidak, Joel menyebutkan, tidak ada. “Uang ku nggak pernah diminta preman bang. Uang yang kudapat, kalau haus aku beli minuman serta cemilan,” ucapnya.
Hal senada juga dilontarkan Frans (12) Jalan Panglima Denai. Bocah berkulit hitam juga bilang, meski mereka berpanas-panasan mencari uang tak lupa kembali ke rumah. “Dapat nggak dapat uang, aku tetap balik ke rumah bang. Aku takut dimarahi,” ucapnya singkat. Ehm..sungguh bocah-bocah yang keras ditempa keadaan. Tapi, keluguan juga masih tersirat dari kelakuan mereka yang saling kejar dan berlari saat bermain bersama. Tetap semangat ya Joel. (ali)
Sumber : Pos Metro,Medan
0 komentar:
Post a Comment