Home » , , , , » Dendam kepada Orang Tua Jangan Anda Wariskan kepada Anak

Dendam kepada Orang Tua Jangan Anda Wariskan kepada Anak

Posted by Anak Bangsa

Tempatkan Iklan Anda disini..


BERBAGI INFORMASI :



(Suatu saat saya membaca sebuah artikel di Kompasiana = http://edukasi.kompasiana.com/2012/02/03/dendam-kepada-orang-tua-jangan-anda-wariskan-kepada-anak/#,setelah membaca habis artikel,saya mendapat manfaat dan pencerahan dari tulisan Bapak Cahyadi Takariawan dan akhirnya saya memutuskan untuk membagi tulisan tersebut kepada rekan rekan setelah saya memohon ijin terlebih dahulu kepada pak Cahyadi sebagai penulisnya.Semoga rekan rekan dapat mengambil manfaat dari artIkel Bapak Cahyadi Takariawan yang saya kutip dari awal hingga habis tulisan pak Cahyadi,TERIMA KASIH PAK CAHYADI TAKARIAWAN)


Cahyadi Takariawan

www.kompasiana.com/PakCah
“Saya tidak akan pernah melarang anak-anak mau melakukan apapun”, kata seorang bapak, peserta seminar pendidikan anak beberapa waktu yang lalu. “Saya berpikir, cukuplah diri saya yang menjadi korban kekerasan ayah saya. Jangan sampai hal itu terulang kepada anak-anak”, lanjutnya.

Rupanya bapak tersebut di masa kecilnya mengalami berbagai tindakan kekerasan dari ayahnya. Sang ayah memiliki temperamen yang keras dalam mendidik anak, dan cenderung bersikap otoriter. Sang ayah sering marah, membentak, bahkan sampai ke tingkat memukul dan menendang anak, hanya karena persoalan-persoalan yang menurut dirinya kecil. Misalnya, ia dimarahi hanya karena tidak segera mandi pagi. Ia sering dibentak karena tidak segera berangkat saat diajak ayah pergi ke masjid.
Ia sering dihukum karena kesalahan tajwid dalam membaca Al Qur’an. Ia ditendang karena pulang larut malam. Begitulah peristiwa kekerasan dari sang ayah selalu ia dapatkan semenjak kecil, yang membuatnya mengalami trauma berkepanjangan. Hingga ia menikah dan memiliki anak, trauma itu tidak bisa segera hilang, masih menghantuinya.
Dua Model Pewarisan Dendam
Ketika anak mengalami tindakan kekerasan dari orang tua, bisa membentuk kebencian dan dendam yang mendalam. Juga bisa memunculkan trauma. Pada saat ia masih kecil, perasaan itu hanya terekspresikan dengan tangisan. Ketika menginjak remaja, ia bisa mengekspresikan dalam bentuk tindak kenakalan. Begitu sudah dewasa dan berkeluarga, dendam dan trauma ini bisa muncul dalam dua bentuk.
Pertama, dengan menerapkan pola yang sama kepada anak-anaknya. Ia berpikir, biar anak-anak tahu bagaimana rasanya kekerasan sebagaimana pernah dialaminya saat kecil. Mungkin, ini perasaan yang mirip dengan para mahasiswa saat zaman dulu ada kegiatan perploncoan. Karena dulu mereka diplonco oleh kakak kelas, maka dendam ini diwariskan kepada para mahasiswa baru. Jadilah lingkaran dendam yang tidak pernah selesai.
Ada banyak orang tua yang menjadikan perilaku ayah atau ibunya dulu sebagai rujukan dalam mendidik dan berinteraksi dengan anak-anaknya. Karena ayah atau ibunya dulu sering melakukan tindakan kekerasan kepada dirinya, ia mengira memang begitulah cara mendidik anak yang baik dan benar. Karena ayah atau ibunya sering marah, membentak bahkan memukul dirinya saat kecil, ia menerapkan pola yang sama kepada anak-anaknya.
Kini ia menjadi orang tua yang otoriter, persis ayahnya dulu. Kini ia menjadi orang tua yang pemarah, suka membentak dan memukul anak, persis seperti perangai ayahnya dulu. Kini ia menjadi orang tua yang sangat banyak mengatakan “jangan” dan “tidak boleh” kepada anak-anaknya, persis yang sering ia dapatkan dari ayahnya dulu. Kini ia menjadi orang tua yang suka memaksakan kehendak kepada anak-anak dan tidak mau mendengar pendapat anak, sama seperti yang diterapkan ayahnya dulu.
Terjadilah pewarisan dendam dan trauma, sehingga menambah jumlah korban dendam dan korban trauma akibat kekerasan orang tua. Anak-anaknya kini diam-diam menyimpan kebencian, dendam dan trauma kepada dirinya, persisi seperti yang ia rasakan kepada ayahnya dulu.
Kedua, dengan mengambil antitesa dari perbuatan orang tuanya. Karena ia merasa tidak nyaman dengan berbagai perlakuan orang tua kepada dirinya, maka ia berusaha melakukan hal yang sebaliknya, namun dengan cara yang ekstrem. Dulu orang tuanya berlaku sangat otoriter, suka melarang, banyak kata “jangan” dan “tidak boleh”, maka kini ia ingin anaknya hidup bebas lepas. Sebebas-bebasnya. Tidak ada kata “tidak” di rumah, tidak ada kata “jangan” di rumah. Yang ada adalah “boleh” dan “terserah kamu”.
Apapun yang ingin dilakukan anaknya, “silakan”. Apapun yang ingin diminta anaknya, segera diwujudkan. Apapun yang dikehendaki anaknya, “terserah kamu Nak. Kamu bisa memutuskan untuk dirimu sendiri”. Ke masjid atau ke bar, itu pilihan bebas. Mengaji atau nonton TV, itu pilihan lepas. Sekolah atau jalan-jalan ke mall, “itu terserah kamu”. Mau shalat atau maksiat, “itu urusan kamu”. Mau baik atau jahat, “bukankah kamu bisa memutuskan sendiri ? Mengapa masih bertanya”.
“Semua terserah kamu, nak. Hidup ini milikmu. Nikmatilah kebebasanmu. Selamat datang di dunia yang tidak ada larangan. Selamat bergembira di dunia yang tidak ada batasan. Kamu ukur sendiri batasnya, karena kamu yang akan menjalani. Ayah dan ibu hanya memfasilitasi semua keinginan dan kesenanganmu”.
Seakan-akan bentuknya adalah kebebasan, sebagai lawan dari kekerasan yang pernah didapatkan dari orang tua di masa lalu. Namun ini pun termasuk ekspresi dendam dan trauma, dalam bentuknya yang berbeda.
Menjadi Orang Tua Smart
Tidak bisa dipungkiri, semua perlakuan orang tua kepada kita akan memberikan pengaruh dalam mendidik anak-anak. Namun, jadilah diri sendiri. Jadilah orang tua smart, yang bersedia belajar dan terus belajar. Ada banyak orang tua sukses di muka bumi ini, yang bisa menghantarkan anak-anaknya menjadi orang-orang sukses. Coba kita banyak belajar dari kehidupan mereka, dari pola pendidikan yang mereka terapkan kepada anak-anak. Dari pola interaksi dan komunikasi yang mereka kembangkan selama ini dalam kehidupan rumah tangga.
Ada banyak pula orang tua yang tidak sukses, karena dibenci anak-anaknya sendiri, dimusuhi anak-anaknya sendiri. Coba kita belajar dari kegagalan mereka dalam mendidik anak-anak, kita belajar dari kegagalan mereka menghantarkan anak-anaknya menuju kesuksesan. Bagaimana pola pendidikan anak yang mereka terapkan, bagaimana pula pola komunikasi dan interaksi yang mereka kembangkan dalam kehidupan keluarga. Bukan hanya success stories yang memberikan inspirasi, namun unsuccess stories pun memberikan pelajaran berarti.
Orang tua smart selalu belajar dan selalu berusaha melakukan hal terbaik untuk anaknya. Ia berusaha melakukan pendekatan yang tepat untuk menghantarkan anaknya menuju sukses. Ia tidak lelah untuk selalu membersamai anaknya menemukan jati diri dan membersamai anak-anak mencapai cita-cita mulia. Ada aturan yang dibangun di rumah, namun aturan itu dibuat dengan melibatkan anak-anak, sehingga mereka merasa memiliki dan bisa komitmen menepati. 
Orang tua smart tidak menganggap anak-anak sebagai botol kosong yang tidak berisi sama sekali. Mereka justru melihat anak dengan tumpukan potensi, yang siap untuk diberdayakan, siap untuk dioptimalkan. Dengan demikian, ada banyak ruang diskusi, ada banyak ruang dialog, ada banyak ruang komunikasi yang melegakan antara orang tua dengan anak. Tidak ada pemaksaan kehendak, namun juga tidak melepas sepnuh kebebasan. Sungguh di muka bumi ini tidak satupun tempat yang bebas aturan. Selalu saja ada aturan, karena adanya hak orang lain yang harus dijaga dan dihormati.
Orang tua smart tidak menganggap anak-anak sebagai mesin yang tidak memiliki hati. Mereka justru melihat anak-anak harus didekati dengan hati, diajak komunikasi dengan bahasa jiwa, diajak berpikir dengan cara dewasa. Dengan demikian orang tua smart tidak semena-mena mewariskan dendam dan trauma akibat perlakuan orang tua di masa lalu kepada anak-anaknya. Mereka tidak terjebak dalam dua model pewarisan dendam kepada anak-anak.
Orang tua smart tidak melihat anak hanya sebagai segumpal materi. Justru mereka melihat anak memiliki potensi yang utuh, jasmani dan ruhani, sisi material dan spiritual. Maka cara pemenuhan kebutuhan pun bukan hanya satu sisi, harus lengkap semua sisi terpenuhi. Ada keperluan spiritual, intelektual, moral, juga amal. Orang tua smart memberikan dorongan dan keteladanan dalam berbagai sisi potensi tersebut secara seimbang.
Saya belum menjadi orang tua smart, namun selalu berusaha untuk memenuhi karakternya.
Jika bersungguh-sungguh, kita pasti bisa. Selamat pagi, selamat beraktivitas.

sumber :
http://edukasi.kompasiana.com/2012/02/03/dendam-kepada-orang-tua-jangan-anda-wariskan-kepada-anak/#


0 komentar: