Home » , , , , , , » LSM Menilai RUU Ormas Tidak Diperlukan

LSM Menilai RUU Ormas Tidak Diperlukan

Posted by Anak Bangsa

Tempatkan Iklan Anda disini..

  KUHP dirasa sudah cukup untuk menindak ormas yang melakukan tindak kekerasan dan kriminal.
Ronald Rofiandri (kanan), peneliti PSHK. Foto: Sgp
Sejumlah LSM menolak RUU Ormas yang saat ini dibahas di DPR. Pasalnya, RUU tersebut dinilai tidak memiliki konsep yang baik tentang apa yang disebut dengan Ormas. Menurut peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Ronald Rofiandri, dalam pembahasan RUU Ormas di DPR belum disepakati soal definisi Ormas. Padahal, definisi adalah hal yang paling utama dalam sebuah undang-undang.

DPR sampai saat ini juga belum menyepakati ruang lingkup ormas itu sendiri. Nantinya, ketika aturan itu disahkan, maka semua organisasi masyarakat mulai dari organisasi hobi, profesi dan lainnya, menjadi bagian dari apa yang disebut ormas. Anehnya, walau definisi dan ruang lingkup itu belum disepakati, namun hal lain sudah disepakati. Misalnya, mekanisme pendaftaran, pembekuan atau pembubaran Ormas dan lainnya.

Sejauh ini, Ronald melihat 80 persen dari materi yang ada dalam RUU itu sudah disepakati dan ditargetkan akan disahkan pada akhir masa sidang DPR tahun ini. Melihat praktik di berbagai negara lain dalam mengatur organisasi, Ronald menyebut tidak ada negara yang menggunakan regulasi seperti RUU Ormas, yang ada hanya regulasi serupa UU Perkumpulan dan UU Yayasan. Ronald mengatakan, pemerintah selalu beralasan RUU Ormas dibutuhkan karena pemerintah kerepotan mengatur banyaknya jumlah ormas di Indonesia pasca reformasi 1998.

Oleh karenanya, Ronald melihat pemerintah beralasan RUU Ormas hadir untuk mengatur ormas yang ada, khususnya ormas yang meresahkan masyarakat atau kerap menggunakan tindak kekerasan. Namun, Ronald menyebut untuk menindak ormas tersebut perangkat hukum yang ada di Indonesia sudah cukup baik seperti KUHP.

Masalahnya, dalam praktik penegakan hukum terhadap ormas yang dimaksud itu tidak dilakukan. Bahkan sampai saat ini dari ormas yang kerap melakukan tindak kekerasan dan kriminalitas belum ada satu pun yang dibekukan atau dibubarkan. Oleh karena itulah Ronald berpendapat hadirnya UU Ormas nanti tidak akan memecah persoalan yang ada. “Nggak nyambung, apa yang jadi persoalan, apa yang jadi solusinya,” kata dia dalam diskusi di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Senin (15/10).

Ronald mengingatkan, di tahun 2007 masyarakat sipil melakukan penolakan terhadap RUU Ormas dan berhasil. Ketika itu RUU Ormas mengatur organisasi di bawah naungan partai politik (Parpol). Tak terima organisasinya diusik, parpol secara keras menolak RUU Ormas. Dengan dukungan dari parpol, akhirnya pembahasan RUU Ormas tidak dilakukan. Namun, saat ini Ronald menyebut kondisinya berbeda, karena berbagai organisasi underbouw parpol itu tak tersentuh RUU Ormas.

Alih-alih mengatur ormas yang kerap melakukukan tindak kekerasan atau vigilante, Ronald melihat dalam pembahasan di DPR soal RUU Ormas, berbagai ormas yang dimaksud itu jarang sekali disinggung. Namun sebaliknya, organisasi yang relatif tidak pernah melakukan tindak kekerasan seperti Indonesia Corrupton Watch (ICW), Green Peace dan lainnya, seringkali disebut-sebut. Bagi Ronald hal ini patut diwaspadai.
Tak kalah penting disorot, Ronald mengatakan ketentuan yang termaktub dalam RUU Ormas sangat longgar, sehingga berpotensi besar menimbulkan diskriminasi oleh pemerintah atas satu ormas dengan lainnya. Misalnya, dalam pasal 52 RUU Ormas, Ronald melihat pemerintah berwenang untuk membekukan sebuah ormas, kewenangan itu juga dimiliki pemerintah daerah (Pemda). Tanpa mekanisme yang diatur secara jelas, maka pembekuan itu sifatnya subjektif, rawan tebang pilih. Begitu pula soal konsekuensi dan hak bagi ormas yang dibekukan.

Atas dasar itu Ronald berpendapat RUU Ormas mengancam kebebasan berserikat dan berkumpul. Oleh karenanya, harus digalang aliansi lintas organisasi untuk menolak RUU tersebut. Selain itu, jika langkah yang sedang diupayakan tersebut gagal dan RUU Ormas tetap disahkan DPR, maka judicial review akan ditempuh.
Senada, pada kesempatan yang sama, aktivis HAM, Usman Hamid, menyebut RUU Ormas tidak diperlukan, yang lebih tepat untuk mengatur organisasi adalah UU Perkumpulan atau UU Yayasan. Sementara, untuk menindak organisasi vigilante, Usman berpendapat KUHP sudah cukup untuk melakukan penindakan atas tindak kekerasan atau kriminal yang kerap ditimbulkan ormas tersebut.

Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang dibahas atau diterbitkan pemerintah seperti UU Intelijen, UU Penanganan Konflik Sosial (PKS), RUU Keamanan Nasional, RUU Ormas dan lainnya, Usman menilai kekuasaan yang ada mulai mengarah ke otoritarian seperti zaman Orde Baru. Pasalnya, dari berbagai peraturan itu Usman melihat akan digunakan untuk membangun stabilitas politik -  ekonomi lewat tindakan represif.

Lebih jauh Usman khawatir yang disasar dari RUU itu bukanlah organisasi vigilante, namun organisasi yang kritis terhadap kekuasaan pemerintahan dan modal. Misalnya, Green Peace, pengusiran aktivis Green Peace internasional dari Indonesia pada waktu lalu menurut Usman berkaitan dengan sikap Green Peace yang mengkritik keras perusakan hutan yang dilakukan korporasi besar. Oleh karenanya, Green Peace menjadi salah satu ormas yang disasar RUU Ormas.

Sebagai upaya agar RUU Ormas tidak disahkan, Usman menyebut harus digalang dukungan yang luas dari masyarakat. Baginya, apapun bentuk kebijakan yang diterbitkan pemerintah, ketika masyarakat secara luas melakukan penolakan, maka kebijakan itu bisa dibatalkan atau berubah. Terkait pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika RUU Ormas itu disahkan, Usman menilai langkah tersebut bukan yang terbaik.

Karena, mengacu putusan MK atasjudicial review yang dilakukan sejumlah LSM atas UU Intelijen, Usman menyebut hasilnya mengecewakan. Putusan itu bagi Usman malah memperkuat sejumlah pasal yang dinilai berbahaya bagi upaya penegakan HAM dan Demokrasi. Untuk RUU Ormas, Usman berharap agar menggalang dukungan publik untuk menolak RUU lebih dikedepankan ketimbang melakukan judicial review di kemudian hari. “Judicial review itu bukan pilihan terbaik,” pungkasnya.


Anak Bangsa :Menatap Mentari Di Kaki Ufuk Dengan Penuh Asa..........

sumber : hukumonline.com


0 komentar: