15 SEPTEMBER 2011 |
Menurut United Nation Tindak pidana perdagangan orang Protokol dan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 88/ 2002, tindak pidana perdagangan orang didefinisikan sebagai segala tindakan yang mengandung salah satu atau lebih dari tindakan perekrutan, pengangkutan, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan, dan penampungan perempuan dan anak dengan ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penipuan, tipu muslihat, pemanfaatan kondisi kerentanan, memberikan atau menerima pembayaran/ keuntungan di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual, buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, penjualan organ tubuh, dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.
Definisi di atas memperlihatkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan kemanusiaan yang sangat kompleks dan mengenaskan. Melebihi perbudakan yang pernah terjadi dalam sejarah masa lalu, tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan kemanusiaan dengan proses yang kompleks dan cara yang beragam. Mulai dari cara yang halus hingga yang kasar seperti perampasan. Dengan demikian tindak pidana perdagangan orang bukan hanya melanggar HAM internasional tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip universal ajaran Islam. Pertentangannya dapat diidentifikasi mulai dari proses, cara, hingga tujuan dari tindak pidana perdagangan orang itu sendiri.
Ada banyak faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang, baik faktor pendorong maupun penarik. Faktor-faktor tersebut antara lain meliputi faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, dan tafsir agama. Konflik yang berkepanjangan, sistem ekonomi yang mengejar pertumbuhan, kesenjangan sosial, budaya partriarkhi, ketidak adilan gender, minuman keras, anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai kewajaran, serta rendahnya tingkat pendidikan merupakan faktor penting penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
Semua penyebab di atas telah melahirkan akibat yang sangat merugikan korban. Karena dalam kasus tindak pidana perdagangan orang korban bukan hanya ditipu, malainkan juga mengalami aneka kekerasan, antara lain kekerasan fisik, mental, seksual, ekonomi, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Akibat lebih lanjut dari semua iitu adalah korban mengalami atau menderita cacat, trauma, putus asa, depresi, terstigma, telantar, dikucilkan secara sosial, tidak ada tempat tinggal, dan melahirkan rasa malu yang luar biasa. Korban yang paling rentan mengalami tindakan tindak pidana perdagangan orang ini adalah perempuan dan anak-anak.
Pandangan Islam
Sebelum menjelaskan bagaimana pandangan Islam, perlu mengutip kembali pengertian tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dikemukakan di atas. Tindak pidana perdagangan orang adalah segala tindakan yang mengandung salah satu atau lebih dari tindakan perekrutan, pengangkutan, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan, dan penampungan perempuan dan anak denganancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penipuan, tipu muslihat, pemanfaatan kondisi kerentanan, memberikan atau menerima pembayaran/ keuntungan di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual, buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, penjualan organ tubuh, dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.
Menurut kutipan di atas, paling tidak ada dua hal yang ingin dilihat dalam kaca mata hukum Islam, yaitu tindakan dan tujuan pelaku. Ada beberapa tindakan dan tujuan pelaku dalam kasus tindak pidana perdagangan orang, yaitu (1) ancaman, (2) penggunaan kekerasan, (3) penculikan, (4) penipuan/ tipu muslihat, (5) pemanfaatan kondisi kerentanan, dan (6) memberikan atau menerima pembayaran/ keuntungan. Sedangkan tujuannya adalah untuk (1) pelacuran dan eksploitasi seksual, (2) buruh migran legal maupun ilegal, (3) adopsi anak, (4) pekerjaan jermal, (5) pengantin pesanan, (6) pembantu rumah tangga, (7) mengemis, (8) industri pornografi, (9) pengedaran obat terlarang, dan (10) penjualan organ tubuh.
Dalam perspektif hukum Islam, tindakan-tindakan seperti ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penipuan/ tipu muslihat, pemanfaatan kondisi kerentanan, dan memberikan atau menerima pembayaran/ keuntungan yang tidak sah adalah dilarang dan hukumnya haram. Terlebih lagi jika tindakan tersebut bertujuan untuk pelacuran dan eksploitasi seksual, buruh migran ilegal, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh. Karena semua itu merupakan prilaku jahiliyah yang merendahkan martabat kemanusiaan, melecehkan kehormatan, dan merupakan bentuk-bentuk perbudakan. Bahkan salah satu visi kerasulan Muhammad SAW adalah menghapus perbudakan. Karena semua itu bertentangan dengan nilai-nilai dasar (Qiyam al-Asasy) hukum Islam. Adapun nilai-nilai dasar dimaksud adalah tauhid, keadilan, persamaan, kebebasan, kemaslahatan, persaudaraan, syura (permusyawaratan), amanah, al-fadhilah (keutamaan), tasamuh (toleransi), dan ta’awun (tolong-menolong).
Uraian di bawah ini hanya akan memfokuskan diri pada persoalan tindak pidana perdagangan orang dan kaitannya dengan eksploitasi seksual. Jadi, di dalamnya akan didiskusikan tentang eksploitasi seksual yang berbentuk pelacuran. Tindak pidana perdagangan orang termasuk dalam wilayah kajian fiqh mu’amalah (interaksi/ hubungan antar sesama manusia). Faktor penting yang ingin dikaji adalah persoalan transaksi antara pihak korban dan pelaku, pelanggaran yang terjadi, dan solusi hukum Islam.
Dalam transaksi dikenal dengan apa yang disebut aqad (perjanjian). Setiap transaksi dikatakan sah bila sesuai dengan asas-asas perjanjian dalam hukum Islam. Asas-asas tersebut sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
Pertama, asas Ibahah (Mabda’ al-Ibahah). Asas ini dirumuskan oleh para ulama dalam statemen; pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya. Berbeda dengan masalah ibadah, dalam mu’amalah segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas terhadap tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan hukum, khususnya perjanjian maka hal ini berarti bahwa tindakan hukum atau perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai tindakan tersebut.
Kedua, asas Kebebasan Berakad (Mabda’ hurriyyah at-Ta’aqqud). Asas kebebasan berakad ini merupakan suatu prinsip hukum yang menegaskan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syari’ah serta memasukan klausul apa saja dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat mendhalimi atau saling mendhalimi antar sesama. Adanya asas kebebasan berakad ini didasarkan kepada beberapa dalil di bawah ini:
1) ”Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian (Q. S. 5: 1).”
2) ”Orang-orang Muslim itu senantiasa setia kepada janji-janji mereka (H.R. al-Hakim).”
3) ”Barang siapa yang menjual pohon kurma yang sudah dikawinkan, maka buahnya adalah untuk penjual (tidak ikut terjual), kecuali bila pembeli mensyaratkan lain (H.R. Bukhari).”
4) ”Pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji (kaidah hukum Islam).”
Dari ayat, hadith, dan kaidah di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, orang dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad tersebut wajib dipenuhi. Kedua, para pihak yang membuat akad dapat menyimpang dari ketentuan hukum perjanjian yang bersifat pelengkap. Contohnya sebagaimana disebutkan dalam hadith di atas bahwa buah hasil perkawinan yang dilakukan oleh penjual tidak termasuk dalam kontrak jual beli. Namun para pihak dapat menentukan lain, misalnya memasukkannya dalam akad. Ketiga, bahwa sebuah perjanjian harus merupakan kesepakatan kedua belah pihak.
Ketiga, asas Konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah). Asas ini tersimpul dalam Q. S. 4: 4 dan 29, hadith riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah, serta Kaidah Hukum Islam. Prinsip penting yang ditegaskan dalam dalil di atas adalah kerelaan para pihak dalam suatu perjanjian.
Keempat, asas Janji untuk Mengikat para Pihak. Dasar naqliyah tentang ini dapat disimak dalam Q.S. 17: 34 dan hadith al-hakim.
Kelima, asas Keseimbangan (Mabda’ al-Tawazun fi al-Mu’awadhah). Keseimbangan yang dituntut meliputi baik keseimbangan antara apa yang diberikan, apa yang diterima, maupun resiko yang timbul. Asas ini tercermin dari dibatalkannya sebuah transaksi bila terdapat perbedaan yang mencolok antara para pihak.
Keenam, asas Kemaslahatan atau tidak Memberatkan.
Ketujuh, asas Amanah.
Kedelapan, asas Keadilan.
Berdasarkan asas-asas inilah para ulama merumuskan rukun akad (perjanjian). Rukun-rukun dimaksud adalah; para pihak, ijab-qabul, objek akad, dan tujuan akad. Sedangkan syarat-syarat terbentuknya akad (perjanjian) adalah tamyiz, berbilang pihak, kesesuaian ijab-qabul (adanya kesepakatan), kesatuan majelis akad, obyek akad dapat diserahkan, obyek akad harus tertentu atau dapat ditentukan, obyek akad dapat ditransaksikan, dan tidak bertentangan dengan syarat ’aqad.
Bila dikaitkan dengan tindakan-tindakan yang lahir dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (khusus untuk kasus-kasus yang ada transaksinya) berupa penipuan/ pemalsuan dokumen, kekerasan, pelacuran, penjualan organ tubuh, dan lain-llain, maka semua tindakan itu bertentangan dengan asas transaksi dalam Islam. Karena semua itu merugikan korban dan melahirkan kemudharatan. Sementara kemudharatan bertentangan dengan asas kemaslahatan yang menjadi prinsip penting transaksi antar manusia. Lebih buruk lagi bila tindak pidana perdagangan orang dilakukan untuk tujuan pelacuran, di mana perempuan sebagai korban merupakan pihak yang paling dirugikan. Ditambah lagi, dalam banyak kasus korban tidak mendapatkan hak-haknya baik berupa perlindungan, upah yang layak yang dijanjikan, dan aneka hak lainnya. Bahkan sampai pada hak memegang dan memiliki dokumen pribadinya. Dalam banyak kasus dokumen inipun dipalsukan, baik nama, umur, maupun alamatnya. Tindakan ini semakin memperparah akibat yang akan ditanggung korban di kemudian hari.
Di sisi lain, salah satu pelanggaran dalam kasus tindak pidana perdagangan orang terhadap nilai-nilai kemanusiaan, martabat, dan kehormatan adalah pelacuran. Pelacuran merupakan tindakan yang sangat dikecam Islam. Kecaman tersebut terlihat saat Islam berbicara tentang zina. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an secara eksplisit. Q. S. Al-Isra’: 23 menyebutkan bahwa zina merupakan perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan (fāhisyah wa sā’ā sabilā). Apakah ketentuan dan statemen ayat di atas juga berlaku bagi perempuan korban pelacuran? Tentu saja tidak. Karena semua itu dilakukan di luar kemampuannya. Bahkan di bawah paksaan, ancaman, ataupun teror. Paksaan itu bisa langsung (dipaksa untuk melakukannya secara nyata) atau tidak langsung (karena himpitan ekonomi dan negara tidak menyediakan fasilitas dan peluang untuk mendapatkan sumber daya ekonomi). Dosa tersebut menjadi tanggung jawab institusi negara yang secara langsung atau tidak telah menjerumuskan korban dalam limbah pelacuran.
Meskipun ayat di atas berbicara tentang zina, tetapi dapat dipahami bahwa jika perzinaan saja dikecam oleh Islam, lebih-lebih lagi pelacuran. Dalam perspektif fiqh jinayah Islam, memang ada perbedaan antara zina dan pelacuran. Konsepsi perzinaan memiliki unsur-unsur; persetubuhan, masuknya penis ke vagina, dilakukan di luar nikah, dan dilakukan atas dasar suka sama suka. Sementara unsur pelacuran lebih dekat kepada pemerkosaan, karena ada unsur keterpaksaan bagi perempuan dalam melakukannya. Unsur keterpaksaan itu kadang berupa faktor ekonomi, politik, maupun kejahatan kemanusiaan dalam suatu jaringan mafia terorganisir. Karena itu suatu tindakan dapat dikategorikan pemerkosaan bila memiliki unsur-unsur; persetubuhan, masuknya penis ke dalam vagina, dilakukan di luar nikah, dan dilakukan tidak atas kerelaannya.
Dengan demikian, maka pelacuran merupakan kejahatan kemanusiaan yang bertentangan dengan harkat, martabat, dan nilai-nilai Islam. Bahkan dengan tujuan Allah SWT menciptakan manusia baik laki-laki maupun perempuan yaitu keharmonisan, keadilan, dan kebahagiaan kedua belah pihak. Kebanyakan kasus pelacuran terjadi dalam kejahatan tindak pidana perdagangan orang/ dengan kata lain tindak pidana perdagangan orang rentang terhadap kasus pelacuran. Lalu, apakah dengan begitu perempuan itu sendiri yang salah kenapa memilih menjadi TKI? Atau jika demikian kenapa negara tidak melarang mereka untuk bekerja di luar negeri? Mereka memilih menjadi TKI karena terhimpit secara ekonomi/ karena dibujuk dan diiming-iming gaji besar/ karena ditipu oleh pelaku, atau karena alasan-alasan lain yang bersumber di luar dirinya. Kedua, melarang perempuan untuk bekerja di luar negeri dengan alasan tidak aman terhadap perempuan juga bukan jawaban yang tepat. Karena itu melanggar hak-hak mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Terutama di tengah negara yang belum mampu menjamin pekerjaan bagi setiap warganya. Bila selama ini situasi kerja di luar negeri belum aman bagi perempuan untuk diperjual belikan atau dilacuri, maka negara berkewajiban menciptakan situasi yang kondusif bagi mereka sebagai warganya bahkan penghasil devisa cukup besar bagi negara. Penciptaan kondisi yang nyaman dan aman bagi mereka dapat dilakukan tidak hanya dengan kebijakan atau peraturan-peraturan, melainkan juga melalui mekanisme, pengawasan, pemberdayaan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan, dan penegakan hukum bagi aparatur negara atau siapapun yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan yang bernama tindak pidana perdagangan orang. Karena dalam Islam salah satu kewajiban penting yang harus ditunaikan negara adalah menjamin kemaslahatan ummatnya. Bahkan Islam memberikan penekanan pada kewajiban negara untuk membela dan melindungi mereka yang lemah baik secara ekonomi, sosial, intelektual atau pendidikan, maupun bidang lainnya
Disalin dari :
http://floweraceh.or.id/umum/traffiking-dan-pelacuran-dalam-fiqh-islam
0 komentar:
Post a Comment